Kebahagiaanmenurut Ki Ageng adalah penemuan dan pemahaman yang mendalam akan diri sendiri. Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan yang bebas, kebahagiaan yang tidak terikat tempat, waktu, dan keadaan. Sampai akhir hayatnya, Ki Ageng selalu menyuarakan tentang kunci kebahagiaan hidup.
Skip to content katagĂą kataga grammatical particle Mga Halimbawa ng Kataga sa Tagalog Examples of Grammatical Particles in Tagalog pa still man yet din too na already Bata pa siya. Sheâs still young. May papel din ako. I have paper too. Kumain na ako. Iâve eaten already. MGA KAHULUGAN SA TAGALOG katagĂą salitĂą; yunit ng wika, binubuo ng isa o higit pang binibigkas na tunog o nakasulat na representasyon at nagsisilbing tagapaghatid ng anumang ipinahahayag ng isip, kilos, o damdamin katagĂą maikling salita, karaniwang walang kahulugan Post navigation
TulisanMarcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: "Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais," dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175-203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, "Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper," dimuat di Indonesia 57 (April 1994).
Berbicara kehidupan tentu tidak akan pernah lepas dari yang namanya persoalan, baik persoalan dalam tata pergaulan maupun persoalan atas diri sendiri, yang berdampak pada hilangnya ârasa bahagiaâ. Dalam hidup bicara kebahagiaan memang persoalan yang subjektif, namun tidak jarang bagi sebagian orang dengan kejinya rela bercakar-cakaran, rela curiga, rela bertengkar dan lebih jauh rela menyalahkan keadaan ketika dirinya tidak merasa bahagia. Hingga melahirkan kesan bahwa dirinya tidak cukup dewasa dalam memahami realitas. Bahkan sering kita dengar kata-kata âbahagia itu sederhanaâ, akan tetapi ketika kata-kata itu dihadapkan pada persoalan yang lebih besar, diri kita tidak mampu menyikapinya dengan bijak, sehingga dengan mudah menyalahkan keadaan. Oleh karena itu, tidak jarang banyak berbagai pemikir telah melahirkan begitu banyak karya dan pemikiran untuk memahami persoalan tentang rasa manusia. Salah satunya adalah Ki Ageng Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram sendiri adalah putra Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang ke-55 dari 78 bersaudara. Lahir pada hari Jumat Kliwon, 20 Mei 1892 dari ibu Bendoro Raden Ayu Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI, dengan nama kecil Bendoro Raden Mas Kudiarmaji. Sejak kecil Ki Ageng Suryomentaram tidak berbeda dengan anak-anak sebayanya beliau bersekolah di sekolah Srimanganti yang berada di lingkungan Kraton Yogyakarta. Selepas dari Srimanganti, beliau melanjutkan pendidikannya dengan mengikuti kursus Klein Ambtenaar, yang mempelajari bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, beliau bekerja di kantor gubernur selama 2 tahun. Sejak kecil Ki Ageng Suryomentaram memiliki kegemaran membaca buku-buku seperti, filsafat, sejarah, dan agama. Pendidikan agama Islam beliau dapatkan langsung dari Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Pada usianya mencapai 18 tahun Ki Ageng Suryomentaram pun diangkat sebagai Pangeran dengan gelar Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram. Namun, pengangkatannya sebagai pangeran ini membuat Ki Ageng Suryomentaram sedikit kecewa ketika kakeknya Patih Danurejo VI diberhentikan sebagai patih dan akhirnya meninggal dunia. Pada saat Ki Ageng Suryomentaram memohon kepada ayahandanya untuk memakamkan kakeknya di Imogiri, ayahandanya menolak. Penolakan inilah yang membuat Ki Ageng Suryomentaram kecewa, meski terlahir dari anak seorang raja dengan segala fasilitas yang begitu mewah tetap saja dalam diri Ki Ageng Suryomentaram ada rasa gelisah dan kecewa. Rasa gelisah dan kecewa ini pun semakin besar dirasakan dalam diri Ki Ageng Suryomentaram. Bahkan dalam perjalanannya ketika dirinya sedang melaju menggunakan kereta, sang Pangeran melihat dirinya sebagai orang yang telah terkamuflase oleh pakaian yang digunakannya dari sutera, juga berbagai perhiasan berupa emas dan berlian yang dikenakannya. Dengan pakaian dan perhiasan yang mewah ini, membuat dirinya seakan-akan berbeda dengan kebanyakan orang. Dan pada saat itu dirinya berkata kepada dirinya sendiri, âJika Suryomentaram ini tak lagi memiliki harta benda semat, kedudukan drajat, dan wibawa kramat, yang tersisa hanyalah orangnya sajaâ. Maka, dengan kegalauan dan perasaan keingintahuannya terhadap masalah kejiwaan, hakekat kehidupan, dan kebahagiaan. Telah membawa Ki Ageng Suryomentaram keluar dari kraton dengan melepaskan gelar kepangerannya dan pergi untuk mengembara. Memahami kehidupan Ki Ageng Suryomentaram telah menarik perhatian begitu besar bagi kebudayaan bangsa Indonesia terkait dengan masalah perenungan filosofis. Mengingat pertanyaan yang dilemparkan Suryomentaram terkait hakekat hidup persis seperti filsuf-filsuf besar dunia. Namun, yang menarik dari pemikirannya adalah sifat orisinalnya yang khas Indonesia karena lahir dari budaya dan masyarakatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Radhar Panca Dahana, bahwa wejangan Ki Ageng Suryomentaram menemukan gagasannya dalam peristiwa, dalam hidup yang berjalan, dan dalam diri orang-orang yang bergelut dalam keseharian, hingga banyak yang menyatakan bahwa gagasan Ki Ageng Suryomentaram adalah filsafat khas Indonesia. Gagasan filsafat khas Indonesia yang lahir dari kegalauan, perjalanan dan perenungan filosofis Ki Ageng Suryomentaram inilah yang melahirkan pengetahuan tentang kawruh jiwa atau ilmu jiwa science of the soul atau ilmu tentang pengetahuan diri science of self knowledge. Kawruh Jiwa adalah pengetahuan mengenai jiwa. Di mana jiwa adalah sesuatu yang tidak kasat mata, akan tetapi keberadaannya dapat dirasakan. Oleh karena itu Ki Ageng Suryomentaram mengatakan bahwa kawruh jiwa adalah ilmu tentang ârasaâ. Dengan memahami kawruh jiwa, seseorang diharapkan dapat hidup tulus, tentram, penuh kasih sayang dan percaya diri. Salah satu gagasan dalam kawruh jiwa yang perlu dipahami terkait tentang persoalan diri sendiri dan kebahagiaan adalah karep dan mulur mungkret. Sebagaimana Ki Ageng Suryomentaram jelaskan bahwa sejatinya dalam diri manusia ada karep keinginan, watak karep ini adalah mulur-mungkret mengembang-menyusut. Bila keinginan tercapai akan mulur dan bila tidak tercapai akan mungkret. Dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan rasa dan kebahagiaan inilah yang harus menjadi ukuran dalam mengatur keinginan agar tidak melampaui batas kemampuan dengan selalu menyalahkan keadaan dan melanggar batas-batas norma yang ada. Sebagai contoh, bila seseorang menginginkan sepeda. Dan keinginannya itu tercapai maka ia akan mulur mengembang dengan menginginkan yang lebih tinggi, seperti motor. Namun apabila keinginan memiliki motor tidak terpenuhi secara alamiah seharusnya seseorang bersedia mungkret menyusut, menerima dulu apa yang dimilikinya. Jika melihat dalam konteks yang lebih jauh apa yang Ki Ageng Suryomentaram ajarkan ini ternyata sejalan dengan konsep rasa syukur, sebagaimana janji Gusti Allah dalam Ibrahim 7, âDan ingatlah juga, tatkala Rabbmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedihâ. Jadi, dengan pemahaman tersebut seharusnya sebagai manusia tidak perlu merasa frustasi dan bertindak melampaui batas serta mengatakan hal-hal yang justru menunjukkan ketidakmampuannya dalam bersyukur. Selain itu, dalam gagasan kawruh jiwa juga menunjukkan akan adanya bungah-susah gembira-susah yang bersifat langgeng. Di mana tidak ada kegembiraan yang terus-menerus, dan tidak ada kesedihan yang terus menerus. Keduanya hadir secara bergantian. Sehingga dalam hidup tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan dikeluhkan. Gagasan ini pun sejalan dengan pepatah kuno dari tanah Jawa tentang urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawangâ, artinya hidup itu hanya tentang melihat dan dilihat, jadi jangan hanya melihat dari apa yang terlihat. Pemahaman ini sangat efektif bila dipraktikkan dalam kehidupan untuk membesarkan hati bagi pihak yang tertimpa kesusahan besar, karena ia mengetahui bahwa kesusahannya tidak berkepanjangan dan lebih jauh tidak mudah iri dengan kebahagiaan orang lain. Oleh karena itu ada ungkapan yang terkenal dari Ki Ageng Suryomentaram,âDi atas bumi dan di kolong langit tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian manusia itu tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak atau dihindarinya. Bukankah apa yang dicari, atau ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti ia mengira atau berpendapat bahwa jika keinginanku tercapai, tentulah aku bahagia dan senang selamanya, dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan susah selamanyaâ. Ungkapan Ki Ageng Suryomentara di atas merupakan cara untuk menghindari perasaan getun-sumelang. Getun artinya kecewa terhadap sesuatu yang telah terjadi dan sumelang artinya khawatir atas sesuatu yang akan terjadi. Jika seseorang terjebak pada perasaan getun-sumeleng, maka dia akan sulit bersifat objektif dan tulus dalam memahami realitas. Dan orang yang mampu keluar dari belenggu getun-sumeleng akan memasuki perasaan tenang dan percaya diri hingga mudah memperoleh kebahagiaan. Inilah sikap dan perasaan yang perlu dikedepankan seseorang untuk memaknai sebuah realitas hidup dan kehidupan, khususnya terkait dengan masalah kebahagiaan. Untuk itu dibutuhkan kejujuran dan keikhlasan yang diringi rasa syukur untuk mampu memahami persoalan yang dihadapi sebenar-benarnya. [zombify_post]
IlmuJiwa Kramadangsa - Ki Ageng Suryomentaram di Tokopedia â Promo Pengguna Baru â Cicilan 0% â Kurir Instan. Beli Ilmu Jiwa Kramadangsa - Ki Ageng Suryomentaram di Singgasana Kata. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia!
Ki Ageng Suryomentaram 20 Mei 1892 â 18 Maret 1962 adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI.[1] Ki Ageng Suryomentaram memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas BRM Kudiarmadji dan setelah umur 18 tahun diberi nama kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo BPH Suryomentaram.[1] Ki Ageng Suryomentaram menjadi guru dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang memiliki arti ilmu bahagia.[2] Salah satu ajaran moral dari Ilmu Begja yang sangat populer pada masa itu adalah Aja Dumeh yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain karena diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama.[2]
KiAgeng Suryomentaram juga meninggalkan warisan yang sangat berharga yaitu KAWRUH PANGAWIKAN PRIBADI atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan KAWRUH JIWA bagi kita semua yang bersedia melepaskan segala atribut keangkuhan kita, bagi kita yang bersedia menjadi manusia sederhana dan rendah hati, yang mendambakan masyarakat Indonesia damai sejahtera.
Semua manusia ingin hidup bahagia. Banyak pemikir filsafat dan psikologi mencoba merumuskan bagaimana manusia bisa merasa bahagia. Namun, yang mungkin tidak banyak orang tahu, di Jawa ada tokoh, pemikir, dah ahli kebatinan yang telah mengajarkan ilmu bahagia. Dialah Ki Ageng Suryomentaram, yang ajarannya oleh kalangan akademisi di Yogyakarta diharapkan menjadi cikal bakal lahirnya teori psikologi lokal. Tapi siapakah Ki Ageng Suryomentaram ini? Lahir pada 20 Mei 1892, ia adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Ki Ageng memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas BRM Kudiarmadji. Setelah umur 18 tahun, ia diberi nama kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo BPH Suryomentaram. Awalnya ia bergelar Pangeran Surya Mataram, tetapi kemudian menanggalkan gelar itu dan menyebut diri Ki Ageng Suryomentaram. Hal ini bermula ketika ia pernah turut dalam rombongan jagong manten ke Surakarta. Dalam perjalanan dengan kereta api, ia melihat petani yang sedang bekerja di sawah. Hal ini menyentuh hatinya, betapa beratnya beban hidup para petani itu. Lalu ia sering keluar istana untuk bersemedi di tempat-tempat yang biasa dikunjungi para leluhurnya, seperti Gua Langse, Gua Semin, dan Parangtritis. Lalu ia pergi mengembara di daerah Kroya, Purworejo, sambil bekerja serabutan sebagai pedagang batik pikulan, petani dan kuli Ia menjadi guru aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja ilmu bahagia..Salah satu ajaran moral Ilmu Begja yang sangat populer adalah Aja Dumeh, yang artinya jangan sok, jangan menyombongkan diri, dan jangan membusungkan dada, Jangan mengecilkan orang lain hanya karena merasa diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa, atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama. Pemahaman Ki Ageng tentang manusia seluruhnya bertitik tolak dari pengamatannya terhadap dirinya sendiri. Ia menggunakan metode empiris, yang didasarkan pada percobaan-percobaan yang dilakukannya pada dirinya sendiri. Dengan cara merasakan, menggagas, dan menginginkan sesuatu, ia menandai adanya gerak kehidupan di dalam batin manusia. Ki Ageng mencoba membuka rahasia kejiwaan manusia, yang dilihatnya sebagai sumber penentu perilaku manusia dalam hidupnya. Ki Ageng juga menunjukkan dasar bagi perilaku manusia dalam dunianya, sehingga antara diri dengan dunia yang melingkupinya bisa tercipta keselarasan. Meski memiliki wawasan agama yang luas karena gemar membaca, Ki Ageng tidak pernah berpuas diri, sampai ia memilih keluar dari Keraton dengan menjadi petani di Desa Bringin, Salatiga. Sepanjang hidupnya, ia mencurahkan perhatian terhadap masalah kejiwaan. Ki Ageng melakukan perjalanan spiritualitas dengan pencarian jati diri, untuk mengetahui makna bahagia. Bahagia itu bukan karena mendapat untung, prestasi, atau pengakuan, tapi bejo beruntung. Salah satu ajaran Ki Ageng adalah memaknai rasa senang dan tidak senang. Menurutnya, senang atau tidak senang itu bukan fakta, tetapi reaksi kita atas fakta. Manusia itu makhluk dengan rasa. Walaupun ada bermacam rasa, tapi dapat diringkas menjadi dua rasa enak dan tidak enak. Dalam pergaulan, seseorang harus mengerti rasa dari yang lain. Ketidakpengertian akan menimbulkan rasa yang tidak enak dan akhirnya timbul perselisihan. Karenanya untuk mengerti rasa orang lain, ia harus mengerti rasa diri yang menghalanginya. Sepanjang hidupnya, Ki Ageng Suryomentaram mencurahkan daya dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan. Banyak hasil penyelidikannya tentang diri sendiri yang berupa buku, karangan, atau ceramah. Pengajaran Ki Ageng biasanya berupa ceramah-ceramah yang ditujukan kepada kalangan terbatas dan diberikan dengan cara yang khas, yakni dengan duduk di lantai lesehan. Kebanyakan tulisan yang membahas persoalan kejiwaan dan kerohanian ditulisnya dalam bahasa Jawa, antara lain Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Ilmu Jiwa, Aku Iki Wong Apa? Cara hidup Ki Ageng Suryomentaram juga menampakkan kesederhanaan, dengan mengenakan celana pendek, sarung yang diselempangkan pada pundaknya, dan memakai kaos. Rambutnya dicukur sampai pendek dan kepalanya dibiarkan tidak tertutup, serta kakinya pun dibiarkan tanpa alas. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada tengah mencoba mengembangkan teori psikologi dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Berlatar belakang budaya Jawa, ajaran Ki Ageng diharapkan jadi cikal bakal lahirnya teori psikologi lokal. Ki Ageng menciptakan teori psikologi Jawa karena ia orang Jawa. Tapi ajarannya bisa relevan, tidak terbatas bagi orang Jawa saja, karena teori psikologi sebenarnya tidak terbatas pada kewarganegaraan dan letak geografis, apalagi etnisitas. Tidak mudah mengembangkan ajaran Ki Ageng untuk menjadi teori psikologi, agar bisa diajarkan di perguruan tinggi. Namun, usaha untuk terus mengembangkan teori psikologi lokal ini layak diapresiasi. Pasalnya, sebagian besar teori psikologi yang diajarkan saat ini di Indonesia lebih berkiblat pada teori psikologi Barat, yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh psikologi dari bangsa Yahudi. Ki Ageng Suryomentaram wafat tanggal 18 Maret 1962 pada umur 69 tahun, dan meninggalkan warisan ilmu kejiwaan yang sangat kaya. *** E-mail
Bahagiamenurut Ki Ageng Suryomentaram adalah hidup sewajarnya. Yaitu hidup secara tidak berlebih-lebihan dan juga tidak berkekurangan. Dan hidup sewajarnya itu oleh Ki Ageng dirumuskan dalam NEMSA (6-SA): sakepenake, sabutuhe, saperlune, sacukupe, samesthine, sabenere.
Ki Ageng Suryomentaram, filsuf Jawa abad 19, memiliki konsep yang menarik tentang bagaimana sebaiknya seseorang ketika tengah belajar, dan apa pula yang mestinya dilakukan oleh seorang pengajar. Dalam Buku Langgar halaman 26 termaktub salah satu surat Ki Ageng kepada sahabatnya, Kakang Sumarsono, yang diharapkannya dapat menggantikan dirinya sebagai narasumber untuk memberikan kuliah umum di ini disampaikan Ki Ageng kepada seseorang yang menurutnya sudah layak menjadi pengajar, tentu saja mesti dipahami dengan kacamata dan pemahaman orang yang sudah dewasa dalam hal ajar mengajar. Jadi, tidak semestinya jika surat Ki Ageng ini dimaknai secara harfiah. Apalagi oleh orang yang di dalam merespon segala sesuatu dan peristiwa masih berlandaskan rasa suka atau tidak ini adalah kutipan suratnya secara utuh. Tanpa basa-basi, Ki Ageng langsung menegaskan lima hal yang tidak seyogyanya dilakukan oleh mereka yang sedang âWong-wong mau aja nganti anggugu menyang guru-guru sejene. Jalaran guru-guru iku ngelmune padha kleru kabeh. Aku wis weruh. Gilo klerune guru-guru mau Ngelmune mesthi sing condong karo pepinginane, nganggo dikon cegah kayata; mangan, turu, cumbana, sapiturute. Utawa banter nglakoni kayata; sabar, mantep, temen, sapiturute. Kuwi guru apa kaya ngono kuwi? Hla, apa patut digugu?âSebagai pribadi, semua orang hendaknya jangan sampai mengikuti apa dan siapa pun selain bisikan kata hati terdalamnya. Karena niat apa pun selain yang berasal dari kata hati terdalam, meski dengan dalih mengikuti ajaran dari para guru, pasti keliru. Saya dapat pastikan, fatal sekali kesalahan para guru yang ajarannya dibiarkan diikuti oleh orang banyak dengan cara seperti karena ilmu para guru tersebut pasti condong kepada keinginan pribadinya, meskipun melalui pantangan seperti; jangan makan, jangan tidur, jangan bersenang-senang, dan lain sebagainya. Atau memerintahkan laku seperti; sabar, yakin, sunguh-sungguh, dan lain sebagainya. Guru macam apa itu? Memangnya pantas pengajar seperti itu diikuti?Kedua, âWong-wong mau supaya anggugu karepe dhewe, jalaran sok anggugu kitab, gugu Kanjeng Sultan Agung, Prabu Brawijaya, Jayabaya, utawa layang-layang babad. Lha, rak ya pating jengkelit ta? Uwong jare gugu mrana-mrana.âSetiap orang hendaknya mengikuti apa yang telah dibisikkan oleh hati terdalamnya. Jangan begitu saja mengikuti pengetahuan yang tertulis dalam buku-buku, mengikuti Kanjeng Sultan Agung, Prabu Brawijaya, Jayabaya, atau cerita-cerita rakyat yang disebut babad alias kronik. Akan menjadi tidak karu-karuan bukan? Masa orang mesti mengikuti sesuatu yang tidak sesuai dengan kata hatinya sendiri?Ketiga, âWong-wong mau aja nganti anggugu pangarep-arepe dhewe. Kayata; awake dhewe nek ngono enthuk kamulyan, utawa anak putune, utawa bangsane. Hla, apa ora pating besasik? Ana wong jare andongakake sapa-sapa, utawa awake dhewe.âSetiap orang hendaknya juga tak menuruti berbagai keinginan pribadinya. Misalnya; kalau aku melakukan begitu, mungkin akan mendapatkan kemuliaan. Jika bukan aku yang mendapatkan kemuliaan, ya mungkin anak cucuku yang akan memperolehnya kelak. Kalau bangsaku tidak melakukan⊠Ah, apa jadinya jika berbagai keinginan itu dituruti? Masa orang hanya mengharap-harapkan orang lain atau dirinya sendiri?Keempat, âWong-wong mau aja ngleluri sapa-sapa; tegese tiru-tiru. Kayata; bapa biyung, kaki nini. Utawa tiru-tiru wong sing luwih-luwih. Rak ya salang surup ta, nek wong kok angluluri kuwi hara? Haraya, ana apa ngalura-ngaluri?âSetiap orang hendaknya juga tidak menjadi pembebek dari siapa pun. Artinya, jangan hanya meniru-niru! Misalnya; meniru orang tua, meniru nenek moyang. Atau meniru orang-orang yang dianggap memilki kelebihan. Nah, bisa menjadi salah kaprah bukan? Masa orang mesti membebek kepada orang lain? Masa iya harus menjadi pembebek?Terakhir, âWong-wong aja nganti memundi, kayata; wong, kitab, kramatan, Borobudur, kaelokan, sapanunggalane. Cekake awake dhewe iki wis becik dhewe. Tegese; wis ora ana barang utawa wong sing diajeni. Hla, apa ora kuwalik cengele, ana wong kok ngajeni mrana-mrana?âSetiap orang hendaknya juga jangan mengkultuskan siapa pun. Misalnya; orang atau kitab yang dianggap suci, berbagai keramat, Borobudur, segala yang dikagumi, dan lain sebagainya. Artinya, tak ada apa dan siapa pun yang pantas dikultuskan. Nah, apakah tidak terbalik tengkuknya, masa ke mana-mana orang mesti mengultuskan sesuatu?Baru kemudian dengan lugas Ki Ageng menulis, âNek Kakang Sumarsono mangerti ing dhuwur iki, mesthi banjur kaduga mejang. Apa witikna wong-wong mau dipitayakake nyang guru-guru. Ing mangka mejang iku volksopvoeding. Nek ora nganggo wejangan iki, pole mesthi dadi wong gumunan; ming ana wong awas wae gumun, ming ana wong ora tau mangan wae gumun, ming ana wong mandi bae gumun, ming ana wong gawe Borobudur bae gumun, ming ana montor mabur bae gumun, basa awake dhewe ora digumuni.âKalau Kakang Sumarsono telah memahami intisari yang saya maksudkan di atas, Insya Allah telah memiliki kesiapan untuk menjadi nara sumber. Ya, karena memberikan kuliah itu volksopvoeding alias mendidik masyarakat, maka tiap-tiap orang tidak semestinya diarahkan untuk mengikuti selain kata hati terdalamnya tidak demikian, maka ujung-ujungnya hanya membuat orang untuk mudah terkaget-kaget; ada orang dapat mengetahui sesuatu sebelum terjadi, tercengang; melihat orang yang sepertinya tidak pernah makan, heran; melihat orang yang sepertinya dapat menyembuhkan berbagai penyakit, kagum; melihat orang bisa membangun Borobudur, takjub; melihat pesawat terbang, heran; tapi terhadap keberadaan dirinya sendiri malah tidak pernah dipedulikan keistimewaannya.âLeting dongeng, aku ngarep-arep banget menyang Kakang Sumarsono supaya tumuli angganteni mejang ana Semarang. Perlu banget, lho. Dene nek aneng Ngayogya wis ana sing ngganteni. Aku ngarep-arep diwangsuli lho. Nek Kakang wus kaduga tak pestekake lho, atiku ayem. Seje dina bokmenawa aku bisa ketemu. Nirtiti, Arinta WG Suryomentaram.âSingkat cerita, saya sangat berharap suatu ketika Kakang Sumarsono dapat menggantikan saya untuk memberikan kuliah umum di Semarang. Ini serius, karena kalau di Yogyakarta kan sudah ada yang bisa menggantikan saya. Saya sangat mengharapkan balasan surat ini. Begitu Kakang Sumarsono sudah menyatakan siapâsaya mengharapkan kepastiannyaâhati saya tenteram. Mudah-mudahan lain hari kita bisa ketemu. Sampai sini dulu, Adikmu Wong Gedhe Suryomentaram.Surat Ki Ageng di atas meskipun dengan diksi yang berbeda, bahkan terkesan sebaliknya, menurut saya sebangun dengan aforisma Syaikh Ibn Athaillah Sakandariy dalam Al-Hikam, âMan abbara min bisaathi ihsaanihi ashammathu isaaâah. Waman abbara min bisaathi ihsaanillaahi ilaihi lam yashmut idza asaaâa.â Pengajar yang merasa dirinya sebagai orang baik, akan diamâbahkan menutupinyaâsaat melakukan kesalahan. Sedangkan pembelajar yang sadar akan kebaikan Allah terhadap dirinya, tidak akan pernah diamâsetidaknya mengakui dan meminta maafâketika telah melakukan kesalahan.Wallaahu aâlam bishshawwab.
PsikologiSuryomentaram. Penulis : Afthonul Afif. Penerbit: IRCiSoD. Cetakan : 2020. Halaman : 238 hlm. Ukuran : 14 x 20 cm. "Kehidupan bahagia sejati adalah kebahagiaan yang tidak lagi terikat oleh tempat, waktu dan keadaaan (mboten gumantung papan, wekdal lan kawontenan).". Ki Ageng Suryomentaram. Buku ini dibuka dengan pengantar oleh Irfan Afifi.
KiSuryomentaram juga memberikan pengajaran tentang bagaimana memaknai rasa senang dan tidak senang. Menurutnya, senang atau tidak senang itu bukan fakta, tetapi reaksi kita atas fakta. Manusia itu makhluk dengan rasa. Walaupun ada bermacam rasa, tapi dapat diringkas menjadi dua: rasa enak dan tidak enak.
Dengandemikian, beragam bentuk gagasan dan doktrin yang terdapat di dalamnya harus tetap dilihat dalam konteks keragamannya masing-masing. 1 Tulisan ini akan membahas filsafatâatau disebut dengan "Ilmu Jiwa" (science of psyche)âdari seorang "pembangkang", Ki Ageng Suryomentaram, dan akan menunjukkan bahwa, meski gagasan Ki Ageng Suryomentaram itu bersifat orisinal, namun ketika diletakkan dalam konteks sosialnya hal itu tetap dapat dilihat sebagai ekspresi dari mentalitas tertentu.
Melaluiajaran Suryomentaram kita mewarisi pemahaman mengenai kebahagiaan dan tugas-tugas utama manusia di dunia. Sebagai generasi penerus yang sudah berlalu sangat lama, ajaran Ki Ageng sangat relevan kita praktekkan saat ini. Melalui ajaran Ki Ageng, kita belajar bahwa kebahagiaan itu tidak harus berurusan dengan duniawi.
. s4gp0mdiiq.pages.dev/81s4gp0mdiiq.pages.dev/624s4gp0mdiiq.pages.dev/299s4gp0mdiiq.pages.dev/729s4gp0mdiiq.pages.dev/544s4gp0mdiiq.pages.dev/659s4gp0mdiiq.pages.dev/523s4gp0mdiiq.pages.dev/352s4gp0mdiiq.pages.dev/375s4gp0mdiiq.pages.dev/891s4gp0mdiiq.pages.dev/864s4gp0mdiiq.pages.dev/399s4gp0mdiiq.pages.dev/219s4gp0mdiiq.pages.dev/997s4gp0mdiiq.pages.dev/419
kata bijak ki ageng suryomentaram